Kamis, 23 Juni 2011

Pendek dan Kecil Versus Panjang dan Besar

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Daya imajinasi memungkinkan kita untuk mereka-reka rupa seseorang yang belum pernah kita temui secara fisik. Makanya Anda punya gambaran sosok sahabat pena yang Anda kenal didunia maya. Saya sering mengalami hal itu. Orang yang pertama kali bertemu dengan saya mengatakan;”Oh, ini toh Kang Dadang itu?”. Kejadian itu terulang lagi pada pertemuan dengan pengurus baru Alumni ITB Angkatan ‘89 hari sabtu lalu. Meski satu angkatan, semasa kuliah saya jarang sekali bertemu dengan mereka. Meski sama-sama aktivis berat, tetapi saya lebih banyak beraktivitas di luar kampus. “Kirain Dadang itu badannya tinggi dan besar, gitu.” Demikian kata teman saya begitu melihat bahwa sebenarnya saya ini pendek dan kecil. Tinggi 165 cm, berat 55 kg. Saya tidak keberatan menyebut diri sebagai orang yang ‘pendek dan kecil’. Karena kedua kosa kata itu bukanlah kebalikan dari ‘panjang dan besar’. Jadi, ya santai saja…

Meski demikian, kita tidak bisa benar-benar lepas dari dikotomi panjang dan pendek. Besar dan kecil. Dalam konteks umur, misalnya; kita selalu mendoakan agar orang yang sedang berulang tahun itu dianugerahi umur panjang. Kita juga selalu ingin menjadi orang besar, dan tidak ingin menjadi orang kecil. Jadi, mau tidak mau memang harus diakui jika kita ini lebih menyukai yang panjang dan besar, daripada yang pendek dan kecil. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar cara mendapatkan yang panjang dan besar, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:

1. Menerima kenyataan bahwa segalanya sudah dijatah. Hidup dan mati kita. Jodoh dan rezeki kita. Nasib kita. Semuanya sudah tertulis dalam buku besar diharibaan Tuhan. Hal itu sama sekali tidak berarti Tuhan pilih kasih dan otoriter dalam menentukan semuanya, melainkan semakin menegaskan bahwa Tuhan sudah mengetahui apa yang akan terjadi dalam hidup kita sebelum kita sendiri mengalaminya. Tuhan sudah tahu kapan dan bagaimana cara kita akan mati, sehingga Dia sudah mencatatkan dalam buku itu. Jadi, sudahlah tidak perlu terlalu pusing apakah umur kita akan panjang atau pendek karena dalam konteks umur, size doesn’t matter. Yang menjadikannya ‘matter’ adalah apa yang kita lakukan dalam mengisi jatah umur yang kita miliki itu. Mau diisi dengan tindakan yang baik dan produktif atau dengan keburukan dan kesia-siaan belaka.

2. Panjangkanlah ‘umur manfaat’ Anda, bukan ‘umur fisik’. Bukan hanya di dalam novel-novel fiksi kita bisa melihat betapa manusia mabuk dengan umur panjang. Dalam dunia nyata pun demikian. Padahal, kita melihat fakta bahwa diantara manusia yang umurnya panjang itu banyak yang secara mental kembali lagi kepada keadaan semasa mereka masih kecil. Sebaliknya, banyak orang yang sudah meninggal namun hasil karyanya masih digunakan oleh banyak orang. Temuan-temuannya masih terus digunakan. Ajaran-ajarannya masih tetap ditaati. Kalimat-kalimat penuh hikmahnya masih tetap diingat. Bukankah mereka inilah yang secara hakekat memiliki umur yang panjang? Bahkan Anda sendiri sering menyebut nama seseorang yang sudah meninggal sejak berabad-abad lamanya, bukan? Mungkinkan nama kita masih disebut oleh orang-orang yang hidup 500 tahun dari sekarang?

3. Besarkanlah nilai manfaat diri Anda bukan ukuran tubuh Anda. Anda memiliki sebuah amplop berisi ratusan juta rupiah. Itu adalah uang berlebih Anda setelah dikurangi alokasi untuk kebutuhan hidup layak dan keperluan lainnya. Anda punya dua pilihan untuk menggunakan uang itu. Pertama, pergi ke dokter bedah platik, maka Anda akan awet muda. Uang itu cukup untuk melakukan perawatan seumur hidup. Kedua, pergi ke panti asuhan lalu Anda meletakkan amplop itu didepan pintu dengan pesan “Untuk Merenovasi Atap Panti Yang Bocor”. Jika Anda mengambil pilihan kedua, maka saya menjamin bahwa Anda akan berhasil membuat nilai hidup Anda jauh lebih besar tanpa harus membeli BH baru dengan nomor yang lebih besar.

4. Berusaha untuk mendapatkan yang besar dan panjang. Kata orang, hanya ada dua kemungkinan mengapa seseorang sangat setia pada pameo ‘size doesn’t matter’, yaitu; size miliknya minimalis atau sedang berpura-pura puas dengan yang minimalis itu. Saya tidak tahu benar apa tidaknya. Tapi jika dipikir-pikir; kalau kita bisa mendapatkan yang panjang dan besar, mengapa harus terus mendekap yang pendek dan kecil? Bayangkan jika Anda bisa memiliki umur panjang hingga 110 tahun. Jika Anda mencapai akil baligh pada usia 10 tahun maka itu artinya Anda bisa memupuk amal dan kebajikan selama 100 tahun. Bukankah umur panjang dan besarnya nilai pahala yang Anda kumpulkan itu bisa menjadi bekal yang sangat banyak untuk mendapatkan karunia Tuhan? Masalahnya, kita tidak tahu sampai umur berapa kita beroleh hidup? Makanya hanya satu hal saja yang bisa kita lakukan, yaitu; memperbanyak amal baik. Jika bisa dengan uang, maka lakukan dengan uang. Jika hanya bisa dengan kata-kata bijak, maka lakukan dengan saling menasihati dalam kebaikan. Jika hanya bisa dengan perilaku baik, maka berperilaku baik yang tidak merugikan orang lainpun sudah menjadi amal saleh. Dengan begitu kita beroleh pahala besar.

5. Mengoptimalkan yang pendek dan kecil. Semuanya ada ukurannya. Termasuk diri kita sendiri. Kalau memang DNA atau gennya pendek dan kecil mau diubah menjadi sepanjang dan sebesar apa lagi? Sudahlah terima saja. Anak ke-4 saya umurnya sangat pendek. Dia sudah meninggal saat berada dalam kandungan ibundanya pada usia kehamilan 12 minggu saja. Kami sedih. Tapi lebih banyak bahagianya. Kami yakin bahwa sang jabang bayi telah kembali keharibaan ilahi dalam keadaan suci. Kita yang terlanjur akil baligh ini tidak bisa kembali dalam keadaan suci seperti bayi. Tetapi, kita patut mensyukuri anugerah umur ini meskipun seandainya umur kita pendek. Kita ikuti saja meskipun takdir kita kecil, yang berarti kita memang hanya cocok untuk yang kecil-kecil. Sungguh tidak pas jika kita yang memiliki gen kecil ini melakukan dosa-dosa besar. Tahu dirilah sedikit jika mau melakukan dosa besar. Orang-orang yang punya ukuran pendek dan kecil mah cocoknya mengisi umur yang pendek itu dengan amal-amal yang banyak, meskipun hanya bisa melakukan hal-hal yang kecil.

Size doesn’t matter. Bisa iya, bisa juga tidak. Selama kita bersedia untuk menerima diri sendiri dengan ikhlas, maka panjang atau pendeknya umur kita tidak akan menjadi kekhawatiran. Semoga saja dalam panjang atau pendeknya umur itu, Tuhan memperkenankan kita untuk mengumpulkan bekal hidup dan pahala dalam jumlah besar dan menjauhi dosa-dosa hingga sekecil-kecilnya.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Employee Engagement Itu Siapa Yang Butuh Sih?

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Dalam artikel sebelumnya kita telah membahas tentang tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang atasan untuk meningkatkan employee engagement para karyawan di unit kerjanya masing-masing. Boleh jadi, sekarang para atasan sedang mencoba mempraktekannya di kantor kita. Sekalipun demikian, upaya itu tidak akan pernah berhasil jika sebagai bawahan kita tidak mengambil porsi tanggungjawab untuk turut mewujudkannya juga. Lho, bukankah meningkatkan employee engagement itu tanggungjawab perusahaan dan atasan kita? Benar. Tetapi jika kita sendiri tidak peduli, maka semua upaya itu akan sia-sia saja. Terus, mengapa kita harus peduli sih? Memangnya siapa yang butuh employee engagement? Namanya juga employee engagement, ya management dong yang lebih berkepentingan? Argumen-argumen itu benar. Sekaligus keliru.

Benar karena employee engagement mempengaruhi suasana dan kinerja perusahaan. Keliru karena perusahaan bisa mengganti kita dengan karyawan yang lebih baik, sedangkan kita tidak bisa semudah itu mengganti perusahaan. Lebih keliru lagi karena rendahnya tingkat engagement kita ternyata sangat berpengaruh buruk kepada kesehatan fisik maupun mental kita sendiri. Oleh sebab itu, kita mesti mulai iklhas menerima dan menjalani profesi yang kita pilih. Jika tidak, maka kita akan terkena pengaruh buruknya, baik secara fisik maupun mental. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar memahami dampak negatif rendahnya employee engagement (EE) kepada pekerjaan, saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Rendahnya EE merusak suasana hati sendiri. Rendahnya EE ditandai dengan ketidakikhlasan Anda terhadap pekerjaan atau penugasan yang Anda terima. Jika Anda tidak ikhlas dengan pekerjaan Anda, apakah saat bangun pagi Anda akan merasa senang? Tidak. Anda justru akan menyesali mengapa setiap hari tanggalnya tidak merah semua. Sejak hari Senin hingga Jumat suasana hati Anda terus buruk. Ketika Sabtu tiba, kekesalan Anda masih tersisa. Sedangkan di hari minggu, Anda sudah memikirkan kembali bahwa besok, adalah hari Senin. Banyak orang yang tidak menyadari jika suasana hatinya telah dirusak oleh rendahnya engagement mereka terhadap pekerjaan. Karena itu, mereka mengira perasaan tidak enak saat pergi kerja adalah hal biasa. Padahal, itu harus segera dibenahi.

2. Rendahnya EE menyiksa diri sendiri. Banyak orang yang tahu jika bersikap negatif kepada pekerjaan adalah salah satu cara efektif untuk menunjukkan rendahnya EE. Dan banyak orang yang mengira bahwa bersikap negatif kepada pekerjaan juga sangat efektif untuk ‘memberi pelajaran’ kepada atasan-atasan mereka. Kenyataannya, para atasan yang cerdas tidak terlalu ambil pusing dengan sikap anak buahnya terhadap pekerjaan. Selama tugas-tugas anak buahnaya diselesaikan dengan baik, mereka tidak terlalu mempermasalahkan sikap. Dan jika sikap anak buahnya sudah kelewatan, mereka juga tidak terlalu ambil pusing. Karena mereka memiliki kekuatan untuk menggantinya dengan orang-orang yang lebih baik. Makanya, keliru jika kita mengira bisa ‘mengirim pesan’ negatif kepada atasan dengan cara itu. Sebab, rendahnya EE kita hanyalah akan menyiksa diri kita sendiri.

3. Rendahnya EE menurunkan hasil penilaian kinerja. Misalnya, Anda adalah seorang atasan yang mempunyai anak buah dengan EE yang sangat rendah. Apakah di akhir tahun Anda akan memberi penilaian kinerja yang baik kepadanya? Anda mungkin memberi nilai bagus untuk penyelesaian tugas-tugas sesuai job desc. Tetapi performance appraisal tidak melulu soal selesai atau tidaknya pekerjaan, melainkan juga penilaian tentang perilaku dan sikap karyawan. Jika Anda pun tidak akan pernah memberi nilai bagus kepada anak buah yang punya EE rendah, maka mengapa Anda berharap atasan memberi nilai tinggi kepada Anda yang memiliki EE sama rendahnya? Hukum yang sama pasti berlaku; atasan Anda pun tidak akan pernah memberi penilaian kinerja yang baik kepada Anda jika engagement Anda kepada pekerjaan juga rendah.

4. Rendahnya EE menyebabkan timbulnya penyakit. Ada orang yang memasabodohkan penilaian kinerja atasannya. “Percuma!” katanya. “Tidak ada pengeruhnya kepada kenaikan gaji, juga.” Begitu komentar yang lazim saya dengar. “Bonus saya tidak ada kaitanya dengan appraisal Pak,” kata yang lainnya. Anda boleh tidak peduli seperti mereka itu. Tetapi, penting bagi Anda untuk mengetahui bahwa penelitian yang dilakukan di tingkat global menunjukkan adanya hubungan yang erat antara rendahnya EE dengan penyakit-penyakit yang diderita seorang karyawan. Diantara penyakit yang berkaitan dengan rendahnya EE adalah; sakit kepala, pusing, asam lambung, dan stress yang tidak kunjung sembuh. Menurut pendapat Anda, pentingkah kesehatan itu? Jika iya, naikkah tingkat engagement Anda kepada pekerjaan. Karena rendahnya EE terbukti menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit fisik dan mental yang berkepanjangan.

5. Rendahnya EE menjauhkan kesempatan dipromosi. Tidak perduli betapa banyaknya peluang promosi di tempat kerja Anda, jika hasil penilaian kinerja tahunan Anda buruk, ditambah dengan kesehatan fisik dan mental Anda yang juga buruk, maka kecil sekali kemungkinannya bagi Anda untuk mendapatkan promosi itu. Lagi pula, orang lain bisa dengan mudah merasakan jika Anda tidak benar-benar ikhlas dengan pekerjaan Anda. Orang lain juga tahu jika Anda tidak nyaman di kantor. Jadi, orang lain juga punya alasan untuk mendukung Anda dipromosikan. Padahal setahu saya, sebelum keputusan promosi dibuat; nama setiap kandidat terlebih dahulu ‘diedarkan’ kepada beberapa pengambil keputusan untuk diberi komentar dan masukan. Jadi jika Anda ingin dipromosi, maka pastikan bahwa Anda memiliki tingkat engagement yang tinggi. Karena rendahnya EE hanya akan semakin menjauhkan Anda dari kesempatan untuk dipromosi.

Siapa yang lebih berkepentingan dengan engagement selain karyawan sendiri? Tidak ada. Kita sendirilah yang paling berkepentingan. Karena itu, berhentilah menyalahkan perusahaan dan atasan Anda untuk rendahnya tingkat engagement Anda kepada perusahaan. Andalah yang paling berkepentingan. Dan Andalah yang bisa membenahinya untuk diri Anda sendiri.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Sepasang Kacamata Untuk Atasanku

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Sesekali saya menemani anak lelaki kami yang berusia 7 tahun untuk menonton film kesukaannya; Shaun The Sheep. Film tentang seekor domba yang diternakan oleh seorang petani bersama domba-domba penghasil wol lainnya dan seekor anjing penjaga. Shaun adalah domba yang paling kecil, kurus, dan kerempeng sehingga bulu-bulu yang dihasilkannya sangat sedikit. Tapi Shaun memiliki kecerdasan yang sangat tinggi dan hati yang jernih. Suatu ketika sang petani kehilangan kacamatanya, sehingga dia tidak bisa melihat dengan jelas. Karena penglihatannya yang terganggu, maka petani itu tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Semua yang dilakukannya menjadi salah, padahal tak seorang pun tinggal didaerah itu untuk membantunya melihat dengan lebih baik. Apa yang dilakukan oleh Shaun si domba kurus itu?

Shaun berpikir keras untuk menolong sang petani sampai akhirnya dia berhasil membuatkan sepasang kacamata untuk tuannya itu. Maka pada saat yang paling kritis, Shaun bisa membantunya untuk melihat lebih jelas, sehingga tuannya bisa kembali menjalankan tugas-tugas hariannya dengan baik. Menyaksikan film itu saya menjadi teringat tentang kita. Khususnya yang memilih untuk menjadi karyawan professional. Petani itu bagaikan atasan yang menggembalakan, sedangkan para karyawan adalah domba-dombanya yang mereka jaga dan arahkan. Seperti petani itu, atasan kita tidak selamanya benar. Namun, disaat kita tahu atasan kita melakukan kekeliruan, apa yang kita lakukan? Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar mengambil peran positif disaat atasan melakukan kesalahan, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:

1. Berilah atasan Anda ruang untuk melakukan kesalahan. Secara tidak langsung kita sering menuntut atasan untuk melakukan keajaiban. Salah satu keajaiban yang kita tuntut adalah; mereka tidak boleh salah. Jangan terlalu membanggakan atasan yang tidak pernah berbuat salah. Karena hanya ada 2 kemungkinan bagi mereka yang tidak pernah salah, yaitu; (i) tidak melakukan apapun, atau (ii) tidak belajar sesuatu yang baru dalam hidupnya. Anda justru harus memberi ruang kepada atasan Anda untuk melakukan kesalahan konstruktif. Yaitu kesalahan yang dilakukannya dalam usaha untuk semakin mengembangkan teamnya, meraih pencapaian yang lebih tinggi, serta bereksperimen dengan hal-hal yang baru. Jika Anda menilai kesalahan atasan sebagai sesuatu yang tabu, maka atasan Anda juga tidak akan mengambil resiko untuk melakukan hal-hal besar. Mengapa? Karena atasan pun menginginkan penilaian yang baik dimata bawahannya.

2. Sadarilah bahwa kita pun bisa melakukan kesalahan yang sama. Ketika atasan melakukan kesalahan, apa yang dilakukan oleh bawahan? Pada umumnya mereka menggunjingkan kesalahan atasannya di toilet atau di kantin-kantin. “Orang G0610K begitu kok diangkat jadi manager!” begitu ejekan yang sering kita dengar. Saya sudah cukup banyak menyaksikan fakta bahwa mereka yang dulunya sering mengkritik atasannya tentang cara memimpin ternyata juga tidak hebat-hebat amat ketika kebagian giliran dirinya yang mengambil tampuk kepemimpinan. Terimalah kenyataan bahwa kita ini manusia biasa. Selama tidak melanggar integritas, maka wajar jika melakukan kesalahan. Oleh sebab itu setiap kali menemukan atasan kita melakukan kesalahan, maka sebelum memakinya dalam hati atau mentertawakannya dibelakang mereka; mawas dirilah terlebih dahulu. Bukankah kita juga bisa melakukan kesalahan yang sama?

3. Sadarilah bahwa kita ada untuk menjadi penolong bagi atasan. Setiap bawahan itu ada untuk menolong atasan menyelesaikan tugas-tugasnya dalam mencapai business objective-nya. Ini yang sering tidak disadari oleh para bawahan. Padahal, tidak butuh mengerti tentang Balance Score Card dulu untuk memahami hal ini. Kinerja semua orang dalam organisasi saling mempengaruhi satu sama lain. Apalagi antara atasan dengan bawahan. Makanya strategic objective setiap atasan selalu diturunkan kepada bawahannya, bukan malah sebaliknya. Dari presiden direktur ke para direktur, lalu manager dan kemudian staffnya masing-masing. Dengan begitu akan ada keselarasan antara apa yang dikerjakan oleh atasan dan bawahan dengan porsinya masing-masing. Jika para atasan itu bisa melakukan semuanya sendiri maka dia tidak butuh bawahan. Itu artinya posisi yang kita pegang itu tidak perlu ada. Mengapa sekarang jadi ada? Karena para atasan membutuhkan seseorang yang membantunya untuk mentjapai boesiness obdjective mereka. Hal itu berarti bahwa setiap bawahan yang tidak bisa memainkan perannya, tidak cocok untuk diberi kepercayaan itu.

4. Fahamilah bahwa atasan membutuhkan kita untuk melihat lebih jernih. Banyak bawahan yang bisanya hanya mengkritik atasan tanpa bisa berkontribusi pada perbaikan. Jika sikap itu dibumbui oleh rasa iri atau tidak suka, maka kemudian akan berkembang kepada kasak-kusuk untuk menjatuhkan. Apa yang dilakukan oleh Shaun? Dia tidak mentertawakan atasannya yang berkelahi dengan orang-orangan sawah karena kelamuran pandangan tuannya itu membuat dia mengira ada yang hendak mencuri dombanya. Shaun ‘melerai’ perkelahian itu. Ketika tuannya keliru menggunting tumpukan jerami yang dikiranya wol domba yang sudah siap dicukur, Shaun berpikir keras; bagaimana caranya membuat sang tuan kembali dapat melihat dengan lebih baik? Ketika dia berhasil mendapatkan kacamata itu, maka dia memasangkannya dimata tuannya. Maka seketika itu pula sang petani bisa melihat dengan jernah apa yang sesungguhnya terjadi di tanah pertaniannya. Semuanya berjalan lancar setelah itu. Bisakah kita membantu atasan untuk melihat lebih jernih?

5. Posisikanlah diri Anda sebagai pemberi solusi. Mencari masalah itu gampang. Bahkan tanpa dicari pun masalah mah pasti datang. Kalau kita hanya bisa menambah masalah, maka sebenarnya kita merupakan bagian dari masalah itu sendiri. Saat seseorang membuang masalah itu, maka bisa jadi kita pun harus ikut dibuang juga. Mencari solusi, itulah yang memiliki nilai seni. Hanya sedikit orang yang bisa melakukannya, sehingga orang-orang yang berfokus kepada upaya untuk memberikan solusi masih termasuk mahluk langka. Seperti hukum supply dan demand, harga orang-orang yang bisa memberikan solusi ini sangat tinggi sekali. Makanya, aneh sekali jika kita ingin dibayar lebih tinggi tetapi tidak memposisikan diri sebagai pemberi solusi. “Be the part of the solution, not the problem.” Begitu nasihat guru management saya. Saya berani bersaksi jika nasihat itu benar. Karena saya sendiri pernah mempraktekannya. Dan hasilnya? Hmm, Anda buktikan saja sendiri. Berfokuslah untuk memberikan solusi, maka Anda akan merasakan sendiri bagaimana keajaiban karir dan penghasilan mendatangi Anda.

Jika Anda melihat kesalahan para atasan. Tetaplah bersikap positif terhadap kesalahan atasan Anda, dan berfokuslah untuk berkontribusi dalam melakukan perbaikan. Toh suatu saat nanti boleh jadi Anda pun akan menjadi seorang atasan. Apalagi jika saat ini Anda juga sudah punya anak buah. Boleh jadi, kekurangan yang Anda lihat pada atasan Anda itu sesungguhnya adalah kelemahan Anda sendiri dimata anak buah Anda. Tidak zaman lagi untuk terus berusaha melihat semut diseberang lautan, sambil mengabaikan gajah yang melambai-lambaikan belalainya persis dimuka kita sendiri. Berhentilah menilai atasan secara negatif. Dan mulailah mempraktekkan ke-5 uraian diatas, sekarang juga.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Sabtu, 18 Juni 2011

Menghadapi Mereka Yang Menolak Seruan Kepada Kebaikan

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Apakah Anda pernah mendengar seseorang berkata begini;”Gue kasih tahu dia, eh malah dia marah-marah!”? Ketika seseorang menasihatkan sesuatu, atau mengingatkan orang lain atas perilaku buruknya, atau sekedar berbagi ajaran dan ajakan terhadap kebaikan; belum tentu semua orang bersedia menerimanya. Bahkan boleh jadi mereka yang tidak senang itu malah balik menyerang. Para alim ulama, para pendeta, para biksu, dan orang-orang yang berkomitmen menjadi bagian dari mata rantai penyampai nilai-nilai mulia banyak yang mengalami perlakuan-perlakuan tidak pantas dari mereka yang tidak menyukai nilai-nilai positif yang disebarkannya. Jika Anda juga ingin menjadi penyeru kebaikan, apakah Anda sudah memiliki kesiapan mental seperti beliau?

Jika Anda mengira semua orang akan menyukai seruan tentang hal-hal positif dan nilai-nilai kebaikan, maka Anda keliru. Faktanya, ada saja orang-orang yang gigih melakukan penentangan. Padahal, peran Anda dalam menyebarkan nilai-nilai positif sangatlah besar sehingga perlu memiliki kesiapan mental untuk menghadapi kemungkinan serangan balik mereka. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya meningkatkan daya tahan mental ini, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:

1. Menyadari bahwa bahkan para Nabi pun banyak yang ditentang. Jika mengingat betapa beratnya perjuangan para Nabi dan Rasul; sungguh, kita akan faham benar bahwa menyerukan kebaikan itu sebenarnya sangat beresiko. Bukan sekedar dibenci dan dimusuhi, bahkan banyak Nabi yang diburu dan dibunuh. Jika Anda sudah berkomitmen menjadi bagian dari mata rantai penebar nilai-nilai kebaikan, maka Anda tidak perlu berkecil hati ketika ada orang lain yang melecehkan Anda, mengucapkan kata-kata yang sinis tentang Anda, bahkan membongkar keburukan-keburukan Anda. Teruslah berpegang teguh pada komitmen Anda, karena boleh jadi Tuhan sedang menguji kesungguhan Anda dalam perjuangan itu. Ingatlah betapa beratnya tantangan dan tentangan yang dihadapi para Nabi; maka Anda akan tegar kembali.

2. Berfokus kepada menasihati diri sendiri, bukan orang lain. Setiap kalimat seruan kepada kebaikan yang Anda sampaikan akan mengundang cercaan orang-orang yang tidak menginginkannya. Bukan hanya mentertawakan Anda, mereka juga bahkan bisa balik memojokkan Anda dengan fakta bahwa Anda pun belum menjadi pribadi yang baik. Mereka ingin melemahkan mental Anda supaya segera berhenti dan menutup mulut saja. Namun jika pun Anda belum menjadi manusia sempurna, tidak perlu malu untuk mengajak sesama pada kebaikan, karena memang tidak ada manusia yang sempurna. Tetapi dengan komitmen itu, kita sendiripun sadar bahwa masih banyak hal yang patut kita perbaiki. Diri kita sendirilah yang membutuhkan nasihat pertama kali. Dengan nasihat yang Anda serukan, Anda mengajak diri sendiri untuk melakukannya. Insya Allah melalui seruan itu sebenarnya kita menyeru diri sendiri untuk terus berbenah. Syukur beribu syukur jika ada orang lain yang tersentuh oleh seruan itu, sehingga Anda akan memiliki teman untuk sama-sama menuju perbaikan.

3. Menyadari bahwa banyak jalan menuju ke Roma. Orang yang mencaci maki Anda karena ajakan kebaikan yang Anda sampaikan kepadanya bisa jadi memiliki pemikiran yang benar. Setidak-tidaknya benar bagi dirinya sendiri. Namun, itu juga tidak berarti Anda salah. Lho, jika mereka yang mencerca itu benar dan Anda benar; apa iya ada dua kebenaran yang saling bertentangan? Hey, ingatlah bahwa untuk pergi ke Roma ada banyak jalan yang bisa kita tempuh. Semua jalan itu benar. Dan tidak saling bertentangan. Manusia yang sempit ilmu seperti kitalah yang mempertentangkannya. Kesinisan kita, kepicikan cara berpikir kita, kedengkian didalam hati kita adalah cerminan dari ketidakpahaman diri kita pada ilmu dan esensi kebenaran yang kita miliki. Jika Anda seorang yang berilmu, maka Anda pasti akan menyampaikan nilai-nilai kebenaran Anda dengan santun, bukan dengan sikap sinis atau melecehkan dan saling menghina. Berdamailah dengan orang yang berbeda pendapat dengan Anda, karena tidak ada gunanya memperdebatkan jalan menuju ke Roma.

4. Menyadari bahwa kebenaran mutlak itu hanyalah milik Tuhan. Ilmu Tuhan itu meliputi segala sesuatu. Maknanya, Tuhan mengetahui semua nilai kebenaran yang ada. Sedangkan esensi kebenaran itu adalah saling menguatkan. Maka tidak mengherankan jika Tuhan memiliki kebenaran yang mutlak karena Dia bisa melihat secara utuh bentuk ‘gajah kebenaran’ itu. Jika kita atau orang lain memaksakan kebenaran sendiri, itu adalah pertanda bahwa kita atau mereka belum memiliki ilmu yang cukup luas untuk melihat kebenaran itu secara utuh. Jadi, jika ada yang memaki Anda karena nilai-nilai kebaikan yang Anda sebarkan, tidak perlu tersinggung. Bisa jadi memang mereka benar dengan pendapatnya. Sedangkan soal cara menyampaikannya yang kasar kepada Anda, itu bukan soal esensial melainkan hanya sekedar pertanda bahwa orang itupun sedang memerlukan proses pembelajaran menuju kearifan yang lebih tinggi.


5. Menyadari bahwa tugas kita hanyalah menyampaikan. Kebaikan dan kebenaran itu bersahabat erat dengan ketegasan. Dikala Anda berhadapan dengan penentangan keliru yang hanya berlandaskan emosi dan nafsu, maka Anda pun perlu tegas untuk tetap menyatakan bahwa mereka keliru. Namun bukan dengan cara balik menyerang mereka. Jika mereka memaki Anda, mengapa Anda harus balik memaki mereka? Jika mereka melontarkan kata-kata sinis kepada Anda, mengapa Anda harus membalas kesinisan mereka? Mari mengingat kembali perjuangan berat para Nabi. Sedemikian beratnya sehingga pribadi-pribadi suci itu menangis dimalam hari mengadukan para penentang itu kepada Tuhannya. Bukankah Tuhan menyambut pengaduan mereka dengan nasihat “Wahai Nabi,” titahNya. “Tugasmu itu hanyalah menyampaikan risalah.” Sungguh bahkan para Nabi pun tidak memiliki kewenangan untuk memberikan hidayah. Masuknya petunjuk kedalam sanubari seseorang adalah hak dan kewenangan Tuhan. Tugas para Nabi hanyalah menyampaikan saja. Sedangkan tugas kita adalah mencontoh para Nabi, dan menyampaikan nilai-nilai kebenaran itu kepada orang lain; meski hanya satu kalimat.

Tuhan sudah tidak lagi mengutus Nabi. Sedangkan dunia yang kita huni ini masih membutuhkan orang-orang yang berkomitmen untuk terus mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari perilaku-perilaku munkar. Mengajak bukan untuk orang lain, melainkan terlebih dahulu untuk diri sendiri. Itulah fitrah dan amanah yang Tuhan berikan kepada kita. Namun, janganlah berharap bahwa jalan yang kita tempuh itu akan mulus-mulus saja. Karena jalan yang terlalu mudah hanya sedikit menyediakan pahala. Semua pahala yang bernilai tinggi Tuhan letakkan dijalan terjal yang susah ditempuh dan tanjakan tajam yang sulit didaki. Maka saat Anda menghadapi tantangan dan penentangan, tidak usah berkecil hati. Karena tantangan yang kita hadapi itu, bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesulitan yang dahulu dijalani oleh para Nabi suci.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Meningkatkan Employee Engagement Di Kantor Anda

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Employee engagement (EE) bukanlah masalah yang hangat dibicarakan hanya di Negara berkembang seperti Indonesia saja. Perusahaan-perusahaan di Negara paling maju sekalipun menghadapi masalah yang sangat pelik untuk diselesaikan ini. Banyak yang masih secara keliru mengira bahwa para karyawan bisa diikat oleh gaji tinggi. Padahal, hanya mereka yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan di tempat lain saja yang masih rela melakukan apapun demi gajinya. Mereka yang memiliki daya jual dan daya juang tinggi pasti akan hengkang juga. Sungguh, ini bukan semata-mata soal uang. Jadi apa dong penyebab utamanya?

Penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor paling utama yang menyebabkan rendahnya tingkat EE ternyata adalah atasannya. Jadi, jika Anda memiliki masalah serius dengan rendahnya EE dikalangan anak buah Anda, maka sudah waktunya untuk bercermin sambil bertanya; “Apakah saya sudah menjadi atasan yang baik bagi para bawahan saya?” Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya mamahami peran atasan dalam meningkatkan Employee Engagement, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:

1. Memahami kebutuhan dan keinginan karyawan. Ada bedanya antara kebutuhan dengan keinginan. Memahami keduanya membantu atasan untuk menentukan mana yang layak untuk diperjuangkan atau diberikan kepada bawahan, dan mana yang tidak perlu terlalu dihiraukan. Kebutuhan mengacu kepada apa yang pantas mereka dapatkan berkaitan dengan hubungan kerja, sedangkan keinginan berkaitan dengan tuntutan-tuntutan yang belum tentu patut untuk mereka dapatkan. Segala sesuatu yang pantas mereka peroleh itulah yang wajib hukumnya untuk diperjuangkan oleh seorang atasan. Harapan karyawan itu beragam macam sehingga tidak mungkin seluruhnya bisa dipenuhi. Memahami antara kebutuhan dan keinginan mereka membantu atasan untuk melakukan penyaringan sehingga lebih efektif dalam menggunakan sumberdaya.

2. Bersedia mendengarkan masukan dan keluhan bawahan. Tidak semua masukan dari bawahan relevan dan bisa diimplementasikan. Juga tidak semua keluhan bawahan bersifat objektif dan berada dalam kewenangan atasan. Tetapi, kesediaan seorang atasan untuk mendengarkan memberikan sinyal positif terhadap kepercayaan bawahan. Mereka bisa merasakan bahwa di kantornya masih ada kesempatan untuk menyalurkan aspirasi. Tersumbatnya saluran penampung aspirasi sering menyebabkan hilangnya kepercayaan bawahan. Dalam jangka panjang hal ini bisa berubah menjadi gejolak yang sulit untuk diredam. Bahkan sekalipun atasan tidak sanggup untuk memenuhinya, bawahan mendapatkan kepuasan ketika suaranya didengar oleh atasan.

3. Menjaga ketulusan hati dalam hubungan dengan bawahan. Saya meyakini bahwa ketulusan adalah kunci terpenting dalam membangun sebuah hubungan. Khususnya antara atasan dan bawahan. Hubungan yang didasari oleh ketulusan tidak sekedar diukur dari keramahan, sebab atasan yang berkarakter keras bukanlah tipe orang yang bisa dipaksa untuk berubah wajah menjadi ramah dan murah senyum. Sebaliknya, bawahan yang kurang supel juga tidak bisa dipaksa untuk hay-hay-hey-hey dengan atasannya. Ketulusan hubungan mengijinkan bawahan untuk mengkritik atasannya, dan memberi keleluasaan bagi atasan untuk menegur bawahannya yang kurang baik. Selama ada ketulusan itu, seseorang tidak harus mengubah kepribadian untuk memastikan bahwa hubungannya dengan rekan di kantor tetap sehat

4. Memenuhi kebutuhan pengembangan bawahan. Seperti halnya Anda, para bawahan membutuhkan kesempatan untuk berkembang. Begitu banyak karyawan yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Salah satu penyebabnya adalah karena atasannya keliru mengira bahwa pengembangan karyawan itu harus selalu berupa kenaikan jabatan. Bukan. Berkembang bisa berarti mendapatkan pengalaman baru, makanya menugaskan bawahan untuk bergabung dengan proyek yang melibatkan departemen lain bisa sangat membantu. Berkembang juga bisa berarti meningkatnya pengetahuan. Untuk hal ini juga tidak harus selalu mahal, karena dengan kreativitasnya seorang atasan bisa melakukan sesuatu yang bisa menambah pengetahuan bawahan dengan biaya yang sangat rendah. Mengirimi mereka artikel-artikel yang berkualitas tinggi misalnya.

5. Memberi kesempatan karyawan untuk mencurahkan seluruh kemampuannya. Jika Anda memiliki kemampuan yang sangat tinggi namun perusahaan tempat Anda bekerja tidak dapat memberikan cukup ruang bagi Anda untuk menggunakan seluruh kemampuan Anda, maka Anda akan meninggalkan perusahaan itu. Sebab, Anda tahu kalau terus tinggal di perusahaan itu akan menyebabkan kemampuan Anda mengecil bahkan menghilang seperti kaki ular yang mengalami proses rudimenter. Atau Anda akan menjadi seperti ikan besar yang berada di kolam yang sangat kecil. Begitu pula dengan bawahan Anda yang pintar dan berkemampuan tinggi. Maka tidak ada kompromi bagi Anda selain memberinya kesempatan untuk mencurahkan segenap kemampuannya. Bawahan tangguh seperti ini tidak terlalu pusing dengan uang. Mereka pusing karena terlalu banyak membiarkan kapasitas dirinya menganggur.

Jika Anda seorang atasan yang memiliki anak buah, maka Anda adalah orang pertama yang bertanggungjawab terhadap Employee Engagement. Tidak ada bawahan yang betah tinggal dan bekerja dengan atasan yang tidak berusaha maksimal untuk membuat mereka kerasan di kantor. Boleh jadi masih banyak karyawan yang tetap tinggal bersama Anda, tetapi Anda kehilangan orang-orang terbaiknya. Karena mereka yang tinggal di tempat yang tidak menyenangkan mungkin saja sedang menunggu peluang ditempat lain yang lebih baik. Jadi, inilah saatnya bagi setiap atasan untuk benar-benar memikirkan dan memberikan perhatian pada upaya-upaya mewujudkan Employee Engagement.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Ketika Jantung Berhenti Berdetak


Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Beberapa hari yang lalu, saya menyaksikan seseorang yang terkena serangan jantung. Meskipun cukup sering mendengar cerita-cerita tentang bagaimana menegangkannya saat-saat terjadi serangan itu, namun baru sekali itu saya menyaksikannya secara langsung. Pada saat yang paling kritis, saya mendengar suara seperti ‘mengorok’ di kerongkongan. Suara aneh itu membuat saya kalang kabut karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di rumah sakit dokter mengajak saya untuk masuk ke sebuah ruangan yang didalamnya terdapat beberapa monitor komputer. Melalui perangkat komputer yang dihubungkan dengan selang kepada jantung itu dokter meminta saya untuk melihat secara langsung, apa yang terjadi didalam jantung. Sungguh, seluruh bulu kuduk saya serasa merinding.

Jantung adalah organ pertama yang terbentuk ketika jabang bayi memulai proses penciptaan atas seizin Tuhan. Dan jantung jugalah yang menandai akhir hidup seseorang. Hari itu, saya benar-benar mendapatkan kehormatan untuk memperoleh sebuah proses penyadaran diri tentang betapa berharganya hidup ini. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar memaknai hidup, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:

1. Menyadari betapa rentannya tubuh kita. Tubuh saya ini kurus, kecil; jauh dari bentuk ideal seorang pria jantan idaman para pemburu ketampanan. Bagaimana dengan Anda, apakah berperawakan sama seperti saya yang kerempeng? Ataukah Anda dianugerahi otot-otot yang kekar membentuk 6 gumpalan membanggakan ditengah-tengah perut seperti yang biasa dimiliki oleh para lelaki atletis? Betapapun indahnya bentuk luar tubuh kita, boleh jadi isi didalamnya sama saja. Jantung yang saya lihat didalam tayangan langsung di ruang operasi itu menunjukkan bahwa tidak peduli sebesar dan sekekar apapun tubuh kita; kita ini sesungguhnya adalah mahluk yang rentan. Ketika Tuhan menyuruh jantung itu berhenti berdegup, maka tumbanglah tubuh setiap insan.

2. Menyadari bahwa kita tidak tahu kapan hidup akan berakhir. Dua kakek saya meninggal dalam usia senja. Namun, salah satu anak saya meninggal hanya dalam hitungan minggu sejak dokter kandungan memberitahu kabar baik tentang detak jantungnya yang mulai terdeteksi oleh alat USG. Betapa penuh misterinya hidup yang kita miliki. Hingga tak seorangpun tahu kapan hidupnya akan berakhir. Setiap kali mengingat hal itu, saya selalu terdorong untuk bersegera menunaikan sembahyang yang sejak tadi masih tertunda-tunda. Setiap kali mengingatnya, kita termotivasi untuk mengurangi berbuat dosa. Dan setiap kali menyadarinya, kita kehilangan selera untuk berbuat curang atau nista. Semoga Tuhan berkenan membantu kita untuk selalu sadar bahwa kita tidak tahu kapan hidup ini akan berakhir.

3. Menyadari bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup. Ketika nafsu dan keserakahan memenuhi pikiran dan hati kita, biasanya kita tidak segan untuk melakukan apapun. Termasuk didalamnya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma, atau mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Sesungguhnya kita tahu jika perbuatan itu salah, namun dorongan hawa nafsu jauh lebih besar daripada pengetahuan tentang kebenaran. Ya sudah lakukan saja, mumpung tidak ada yang memergoki atau berani menghalangi. Mungkin kita perlu ingat kembali bahwa setiap perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, mungkin kita masih sempat berpikir ulang, setiap kali hendak berbuat curang. Atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak disukai oleh Tuhan.

4. Menyadari bahwa kita tidak bisa membayangkan kerasnya sisksaan Tuhan. Jika Anda pernah memegang palu, mungkin tangan Anda pernah secara tidak sengaja terpukul palu saat hendak memaku. Rasa sakitnya tentu bukanlah tandingan bagi pukulan palu malaikat yang marah karena kenistaan yang pernah kita lakukan semasa hidup. Jika Anda pernah memasak, mungkin tangan Anda pernah melepuh terkena kompor yang tengah menyala. Rasa panasnya bukanlah tandingan kobaran api didalam neraka yang menyala-nyala. Perlu berlatih dipukul martil sekeras apa supaya bisa tahan dari pukulan palu godam Tuhan? Harus latihan dibakar dengan api sebesar apa supaya bisa mengatasi panasnya api kemarahan Tuhan? Menyadari bahwa kita tidak bisa membayangkan kerasnya siksaan Tuhan, mungkin bisa lebih memotivasi kita untuk mengisi hidup dengan tindakan-tindakan yang bernilai.

5. Menyadari bahwa kita tidak berhak untuk menyulitkan orang lain. Kita sering mengira bahwa wacana tentang sorga dan neraka itu hanya cocok untuk dijadikan dongeng pengantar tidur saja. Hanya anak-anak yang layak mempercayainya. Orang dewasa seperti kita, tidak pantas lagi terbuai oleh cerita-cerita yang tidak ada bukti empiris tentang kebenarannya. Memang, hidup ini adalah pilihan. Kita boleh memilih untuk percaya, atau ingkar saja. Maka berbuat sesuka hati adalah hak kita. Namun, ada bagusnya jika kita sadar kita ini sama sekali tidak berhak untuk menyulitkan orang lain. Meski boleh berbuat nista, kita harus memastikan bahwa kenistaan yang kita buat itu tidak menjadikan orang lain menderita. Meski boleh mengambil yang bukan hak kita, namun kita tidak patut menyebabkan orang lain kehilangan kepemilikannya. Meski boleh mengambil sesuka hati kita, tapi kita tidak berhak menjadikan perusahaan mengalami kerugian. Menyadari bahwa kita tidak berhak untuk menyulitkan orang lain, mungkin membantu kita untuk menyadari bahwa tidak ada tindakan dan perilaku kita yang tidak terhubung dengan orang lain. Maka perilaku positif, hanya itulah pilihan yang kita miliki.

Menepuk dada adalah pertanda bahwa kita percaya diri dan yakin akan semua kemampuan yang kita miliki. Namun, kita sering tidak sadar bahwa didalam dada yang kita tepuk-tepuk itu ada sebuah organ penting yang menentukan hidup dan mati kita. Organ itu bernama jantung. Maka setiap kali kita menepuk dada, alangkah baiknya sambil mengatakan;”Tuhan, terimakasih telah Engkau izinkan aku memiliki jantung ini.” Dengan begitu, mungkin kita bisa semakin termotivasi untuk mengisi hidup yang singkat ini dengan segala hal yang Dia sukai.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Senin, 13 Juni 2011

Tujuan Anda Saat Bersedekah?

Hore,

Hari Baru!

Teman-teman.

Segala sesuatu sangat ditentukan oleh niat, kita sudah mengetahui hal itu. Artinya, nilai dari suatu tindakan sangat bergantung kepada niat atau tujuan kita melakukan tindakan itu. Jika niat kita baik, maka nilai tindakan kita baik dan sebaliknya. Saya juga yakin Anda tidak asing lagi dengan kata sedekah. Bahkan boleh jadi Anda setiap hari bersedekah. Terlebih lagi karena akhir-akhir ini banyak ceramah, artikel, bahkan buku-buku yang membahas tentang sedekah. Pertanyaannya sekarang adalah; apa tujuan Anda saat bersedekah?

Pelajaran tentang sedekah yang disampaikan oleh para guru selalu dikaitkan dengan niatnya. Dulu sekali, ketika sedekah belum sepopuler sekarang; para guru kehidupan selalu mengingatkan agar ketika melakukan sedekah, kita mampu membebaskan diri dari sifat riya, atau ingin dipuji, atau sekedar mengharapkan ucapan terimakasih. Untuk membuat kami memahami apa itu arti riya, para guru mengumpamakannya seperti api yang melahap kayu bakar sampai ludes menjadi abu. Jika api memusnahkan kayu, maka sifat riya menghapuskan pahala atas setiap kebaikan yang kita lakukan.

Guru kehidupan saya juga menjelaskan bahwa setiap perbuatan baik akan dibalas sesuai dengan harapan yang menyertainya. Misalnya, jika kita melakukannya dengan harapan untuk mendapat pujian tadi, maka tentu kita akan mendapatkan pujian itu. Jika kita bersedekah dengan harapan seseorang akan semakin menghormati kita, maka tentu orang yang kita beri sedekah itu akan menghormati kita. Lantas bagaimana jika kita bersedekah dengan harapan supaya menjadi kaya atau lebih kaya lagi? Saya tidak akan memberikan jawabannya karena Anda bisa memperkirakannya. Namun jika Anda belum juga berhasil mendapatkan jawabannya, maka Anda bisa mencarinya didalam banyak artikel atau buku-buku yang dapat dengan mudah Anda peroleh. Saat ini riya sudah tidak lagi menjadi tema penting, karena system nilai kita sudah banyak sekali berubah.

Percayakah Anda kepada para guru zaman modern yang mengajarkan bahwa dengan bersedekah maka harta Anda akan semakin melimpah ruah? Jika bersedekah kemudian Anda mengharapkan untuk menjadi kaya; maka Anda akan kaya? Saya percaya. Mengapa? Karena seperti pesan dari guru kehidupan saya di zaman dahulu; “Temani setiap amal baikmu dengan tujuan dan harapan yang paling baik, karena harapan dan tujuan itu akan mendatangimu persis seperti yang kamu inginkan.” Jadi, saya percaya kepada kata-kata para guru zaman modern Anda; karena saya sangat mempercayai ajaran guru kehidupan zaman dahulu saya.

Memang guru kehidupan masa kecil saya tidak mengatakan bahwa dengan bersedekah maka kekayaanmu akan semakin bertambah. Namun, beliau menjelaskan bahwa; apapun yang kita harapkan saat melakukan kebajikan akan menjadi kenyataan. Bukankah terserah kita saja mau mengharapkan apa?

“Apa yang engkau harapkan saat engkau bersedekah anakku?” begitu guru kehidupan saya bertanya.

“Apa saja yang terbaik untuk saya, guru,” jawab saya sekenanya saja.

“Apakah yang terbaik untukmu menurut pendapatmu?” beliau meneruskan pertanyaannya. “Saya belum tahu,” hanya itu yang bisa saya katakan.

“Tak seorang pun mengetahui apa sesungguhnya yang terbaik bagi dirinya sendiri, anakku.” Kata guru saya lagi. Menurut pendapat beliau; Tuhanlah yang benar-benar tahu apa yang terbaik bagi seseorang. Kita hanya mengira bahwa menjadi kaya atau bahkan lebih kaya merupakan hal terbaik, padahal belum tentu dimata Tuhan itulah yang terbaik. Sehingga ketika setelah bersedekah itu kita menjadi kaya atau lebih kaya lagi; kita mengira sudah mendapatkan imbalan yang terbaik. Apakah itu salah? Tidak. Sebab seperti yang dikatakan oleh guru kehidupan saya bahwa; setiap harapan yang menyertai amal baik kita, pastilah akan terkabulkan.

Tetapi, jika Tuhan adalah satu-satunya yang paling tahu tentang apa yang terbaik bagi kita, maka bukankah lebih baik untuk menyerahkan kepadaNya saja apapun balasan dari setiap kebajikan yang kita lakukan? Sungguh, Tuhan adalah pemberi balasan yang paling sempurna. Dan beliau mengingatkan kita akan firmanNya yang mengatakan bahwa; jika seseorang berharap balasan di dunia, maka Tuhan menjamin dia menerima balasan yang sempurna di dunia. Persis seperti yang diinginkannya. Tetapi, bagi siapa saja yang mengharapkan balasannya di akhirat, maka Tuhan menjamin bahwa untuk orang itu ada balasan yang pantas di dunia. Sedangkan diakhirat, dia akan memperoleh hadiah yang khusus disediakan Tuhan hanya untuk mereka yang hanya mengharapkan pahala dari sisiNya. Mengapa Tuhan memberi orang ini balasan di dunia dan sekaligus juga diakhirat? Karena orang ini telah meluruskan niat dan tujuannya dalam bersedekah semata-mata untuk mendapatkan kasih sayang tuhannya. Bukan untuk pujian. Bukan pula untuk sekedar harapan atas bertambah banyaknya harta yang dia punya.

Maka benarlah apa yang difirmankanNya bahwa Allah, Dialah sebaik-baiknya pemberi balasan. Sedangkan sebaik-baiknya amalan? Itu adalah setiap perbuatan baik yang dipersembahkan hanya kepada Tuhan. Sahabat, saudara, doakan diriku agar sanggup memperuntukkan setiap kebajikan yang mampu kulakukan hanya kepada Tuhan. Terlebih lagi, tolong doakan saya agar terbebas dari niat dan tujuan yang dangkal sehingga saya bisa menggantungkan harapan-harapan yang tinggi. Tolong doakan saya. Dan sebelum Anda berdoa untuk saya, ijinkan saya untuk terlebih dahulu mendoakan Anda semua agar menjadi para penggiat sedekah yang didasari oleh niat dan tujuan yang tulus untuk mendapatkan pahala akhirat. Sungguh, akhirat itu jauh lebih indah dari sekedar kehidupan dunia yang hanya sementara ini. Begitulah yang diajarkan . Selamat bersedekah. Dan selamat menabung pahala, untuk bekal kehidupan di akhirat kelak.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

5 Faktor Penghambat Karir Anda!

Hore,

Hari Baru!

Teman-teman.

Setiap orang yang hidupnya bergantung kepada gaji adalah seorang buruh; sekalipun pangkatnya direktur utama. Mengapa para direktur tidak ikut-ikutan demonstrasi untuk memperingati tanggal 1 Mei sebagai hari buruh? Karena, orang yang karirnya bagus tidak lagi disebut buruh. Sedangkan mereka yang karirnya buruk, biasanya memang disebut sebagai buruh. Jika Anda seorang karyawan; maka pastikanlah bahwa Anda memang layak untuk tidak menyandang gelar sebagai buruh. Bagaimana caranya?

Sederhana saja; bangunlah karir Anda sampai ke titik dimana Anda layak dihormati dan dihargai tinggi. Agar bisa membangun karir dengan baik, maka Anda harus membuang jauh-jauh mental ‘b-u-r-u-h’. Mengapa demikian? Karena mental b-u-r-u-h itu menyimpan 5 faktor penghambat karir yang sangat mematikan. Apa sajakah kelima faktor itu? Berikut ini uraiannya.

  1. B=Bersembunyi dibalik topeng ‘nasib’. Baik atau buruknya karir seseorang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nasib. Perhatikan para pekerja gagal. Mereka menganggap bahwa mandeknya karir dan bayaran mereka sudah menjadi nasib sehingga tidak terdorong untuk menggeliat bangkit dari posisi rendahnya. Walhasil, dari tahun ke tahun tidak ada perbaikan jabatan dan pendapatan signifikan yang mereka dapatkan. Jadilah karyawan yang berani berjuang untuk memperbaiki karir sendiri karena nasib selalu mengikuti ikhtiar yang Anda lakukan.

  1. U=Ulet hanya ketika diawasi oleh atasan. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak sekali karyawan yang ulet, gigih, dan giat hanya ketika ada atasannya saja. Tapi saat atasannya tidak ada; mereka berleha-leha atau mengerjakan sesuatu yang tidak produktif pada jam kerja. Para pegawai berdasi pun banyak yang memiliki perilaku seperti ini. Padahal, sikap seperti ini jelas sekali menunjukkan jika mereka tidak layak untuk mendapatkan tanggungjawab yang lebih besar. Jadilah karyawan yang bisa diandalkan, baik ada atau tidaknya atasan; karena kualitas seseorang dinilai dari tanggungjawab pribadinya ketika dia sedang sendirian.

  1. R=Rendah diri. Kita sering keliru menempatkan kerendahan hati dengan sifat rendah diri. Ketika berhadapan dengan senior atau orang yang pendidikannya lebih tinggi, kita merasa kecil sekali. Padahal sebagian besar manager atau direktur pada mulanya adalah orang-orang yang menduduki posisi rendah seperti kebanyakan karyawan lainnya. Sifat rendah diri mengungkung orang dalam kotak inferioritas sehingga kapasitas dirinya tidak terdaya gunakan. Jadilah karyawan yang rendah hati, karena mereka yang rendah hati memiliki kualitas diri yang tinggi, namun tetap bersikap arif, positif dan konstruktif.

  1. U=Unjuk rasa melampaui unjuk prestasi. Unjuk rasa tidak selalu harus turun ke jalan. Protes soal kenaikan gaji adalah contoh nyata unjuk rasa yang sering terjadi di kantor-kantor. Menggunjingkan atasan dan managemen di kantin atau toilet juga merupakan bentuk unjuk rasa yang tidak sehat. Perhatikan para karyawan yang tidak puas dengan kebijakan perusahaan. Mereka berkasak-kusuk sambil mengkorupsi jam kerja. Padahal, itu semakin menunjukkan kualitas buruk mereka. Jadilah karyawan yang rajin unjuk prestasi, karena prestasi membuka peluang untuk mendapatkan kesempatan dan pendapatan yang lebih besar.

  1. H=Hitung-hitungan soal pekerjaan dan imbalan. Banyak sekali karyawan potensial yang akhirnya gagal membangun karirnya hanya karena merasa tidak dibayar dengan pantas. “Kalau gua digaji cuma segini, ngapain mesti kerja keras?’ begitu katanya. Padahal, sikap seperti itu tidak merugikan perusahaan lebih dari kerugian yang dialami oleh orang itu sendiri. Mereka membuang peluang untuk mengkonversi potensi dirinya menjadi karir yang cemerlang. Jadilah karyawan yang berfokus kepada kontribusi yang tinggi, karena bayaran atau imbalan akan mengikutinya kemudian.

Jika Anda mampu membuang mental ‘b-u-r-u-h’ yang sudah saya jelaskan diatas, maka Anda tidak akan menjadi buruh rendahan. Sebaliknya, Anda akan menjadi karyawan yang ketika pensiun nanti; memiliki sesuatu yang layak untuk dibanggakan.

Mari Berbagi Semangat!

diterukan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Menuju Kesempurnaan Diri


Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Katanya, manusia itu mahluk sempurna ya? Apakah kesempurnaan itu sudah kita warisi sejak lahir atau baru sekedar ‘potensi’ untuk sempurna? Faktanya, tidak ada manusia yang langsung hebat begitu dia lahir. Jadi, pastilah kesempurnaan manusia itu harus diperjuangkan. Begantung nilai perjuangannya; ada manusia yang semakin mendekati kesempurnaan diri, dan ada juga yang begitu-begitu saja. Lantas, bagaimana caranya supaya kita bisa semakin dekat kepada kesempurnaan itu?

Kesempurnaan itu dibangun dari elemen-elemen kecil berupa kualitas pribadi kita. Semakin banyak elemen yang bisa kita perbaiki, semakin dekat kita kepada kesempurnaan diri. Saya merangkum 5 cara yang bisa Anda tempuh untuk memperindah elemen-elemen diri itu. Berikut ini ulasannya.

1. Adu kualitas kerja dengan kualitas diri. Kualitas kerja seseorang mewakili kualitas pribadinya. Cek apakah kualitas kerja Anda sudah sama dengan kualitas pribadi Anda. Jika sudah sama; maka Anda sudah mencapai setengah jalan menuju diri Anda yang sesungguhnya. Setengahnya lagi apa? Belajar lagi sesuatu untuk meningkatkan kualitas diri Anda sedikit lagi. Lalu, adu lagi hasil kerja Anda, dan seterusnya.

2. Adu jumlah waktu tersia-siakan dengan waktu produktif. Waktu Anda hari ini, berbeda dengan waktu yang sudah berlalu. Sedangkan waktu yang disia-siakan sama sekali tidak meningkatkan nilai diri Anda. Coba periksa kembali, mana yang lebih banyak; waktu produktif Anda atau waktu yang Anda sia-siakan. Pastikan, bahwa waktu yang berharga itu mendukung proses penyempurnaan kapasitas diri Anda.

3. Adu gengsi dengan mawas diri. Gengsi ditandai dengan keengganan untuk mengakui kelemahan yang kita memiliki. Tersinggung jika ada orang yang menunjukkan kelemahan itu. Membela diri atau mencari pembenaran, meskipun hati kecil mengakuinya. Jika Anda selalu mawas diri, terbuka terhadap kritikan dan masukan, lalu melakukan perbaikan demi perbaikan; maka semakin hari, Anda menjadi semakin baik.

4. Adu kesombongan dengan kerendahan hati. Orang yang sombong itu tidak mau belajar dari orang lain yang derajatnya dinilai lebih rendah. Sekalipun orang yang dipandang rendah itu memiliki keluasan ilmu dan hikmah, jika Anda sombong tidak bisa mengambil pelajaran apapun. Sebaliknya kerendahan hati menuntun Anda untuk belajar dari siapapun sehingga semakin hari, pengetahuan dan keterampilan Anda menjadi semakin tinggi. Selalu ada peluang untuk meningkatkan kapasitas diri bagi mereka yang rendah hati.

5. Adu kebatilan dengan ketakwaan. Ingatlah bahwa tujuan akhir dari kehidupan kita adalah kembali kepada Tuhan. Sempurna atau tidaknya seseorang pada akhirnya akan ditentukan oleh penilaian yang Tuhan berikan. Sedangkan dimata Tuhan, manusia itu sama kecuali nilai takwanya. Artinya, seberapa patuh dia kepada perintah Tuhannya. Apakah perintah Tuhan itu? Menghindari perbuatan buruk, dan mengerjakan amal saleh. Jika manusia sudah mampu memenuhi perintah Tuhan itu, maka dia telah berhasil mencapai kesempurnaan dirinya.

Kesempurnaan bukan berarti tidak memiliki kelemahan. Namun, dengan mempraktekkan ke-5 hal diatas, saya yakin kita akan bisa mengimbangi kelemahan yang kita miliki dengan keunggulan yang mumpuni. Dengan begitu, kita akan semakin dekat dengan kesempurnaan insani.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Daya Saing Kita Di Kantor


Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Persaingan ada di mana-mana, termasuk di kantor. Para staf bersaing untuk dipromosi menjadi supervisor, para supervisor bersaing untuk menjadi manager, dan para manager bersaing meraih kursi direktur. Cita-cita, ambisi, dan tekad yang membara berseliweran dimana-mana. Salah? Bergantung bagaimana cara bersaingnya. Jika persaingan itu diwarnai oleh sikap dan tindakan yang tidak berkehormatan, maka dampaknya sangat buruk. Tetapi jika persaingan itu dilakukan secara sehat, maka efeknya sangat konstruktif.

Kita hanya akan bisa bersaing secara sehat jika berfokus kepada pembentukan kompetensi, sehingga setiap orang saling berlomba menunjukkan kemampuannya dalam berkontribusi. Untuk Anda, saya ingin menghadiahkan 5 cara yang sangat efektif dalam menghadapi persaingan di kantor, sehingga kompetensi Anda meningkat, dan kontribusi Anda juga bertambah. Berikut ini adalah uraiannya.

1. Yakini jika disana ada kesempatan yang sama. Banyak orang yang menganggap perusahaan, managemen dan atasannya tidak adil dan pilih kasih. Promosi hanya didasari oleh rasa suka atau tidak suka. Yakinlah bahwa di perusahaan tempat Anda bekerja berlaku azas kesempatan yang sama. Bagaimana jika di kantor Anda benar-benar tidak terdapat kesetaraan kesempatan itu? Jangan terus menumpang hidup disitu dong. Juallah diri Anda ke perusahaan yang menganut prinsip ‘Equal Employment Opportunity’. Apakah ada perusahaan seperti itu? Tentu saja.

2. Perlihatkan kapasitas diri Anda. Cara paling ampuh untuk dipromosi adalah dengan menunjukkan bahwa kapasitas diri Anda memang tinggi sekali sehinga sudah selayaknya mendapatkan tanggungjawab yang lebih besar. Jangan menunggu dipromosi jadi Manager dulu untuk menunjukkan Anda mampu menjadi seorang manager. Tunjukkan bahwa Anda mampu bekerja sekualitas Direktur, sebelum Anda menjadi direktur. Jika Anda bisa begitu, maka jabatan itu tidak akan lari kemana-mana; pasti Anda duluan yang mendapatkan kesempatan. Andalah yang kemudian menentukan, mau mengambil kesempatan itu atau tidak.

3. Bangun hubungan yang sehat dengan atasan dan orang lain. Banyak orang yang kemampuan teknisnya sangat tinggi namun tidak bisa dipromosi karena tidak memiliki people skill yang memadai. Ingatlah bahwa promosi bukan sekedar urusan teknis sehingga hanya mengandalkan faktor teknis saja sering membuat orang kecewa. Jadi, belajarlah membangun hubungan yang baik dengan orang-orang di kantor, karena itu adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi karir Anda.

4. Lapang dada jika kolega Anda yang dipilih. Proses seleksi promosi itu nyaris seperti sebuah pertandingan. Ada kalah, ada menang. Ada gagal, ada berhasil. Banyak orang yang mau bertanding tapi tidak mau menerima kekalahan. Ketika orang lain yang dipromosi, mereka mutung lalu membuat masalah. Sungguh, sikap seperti itu hanya merugikan dirinya sendiri. Jika Anda berani mengikuti proses seleksi promosi, siapkan mental untuk menang atau kalah. Jika menang Anda siap mengemban tugas. Jika kalah juga Anda siap untuk menerimanya dengan lapang dada.

5. Tetaplah berpikir dan bersikap positif. Pikiran dan sikap positif memberikan dampak positif bagi diri sendiri dan orang lain. Anda akan tetap sehat, dan terus berkembang. Seperti magnet, kedua hal positif itu juga menarik respon positif dari lingkungan atau orang-orang disekitar Anda. Sebaliknya, jika Anda memenuhi diri dengan pikiran dan sikap negatif, maka Anda sendiri yang rugi. Orang lain pun tidak akan menaruh simpati sama sekali, sehingga Anda akan semakin dijauhi. Jadi, berpikir dan bersikaplah secara positif.

Hasil dari sebuah persaingan bukanlah akhir dari perjalanan karir Anda. Jika Anda memenangkan persaingan itu, maka Anda harus menunjukkan bahwa memang Anda pantas mendapatkan promosi itu. Jika tidak, maka Anda akan diremehkan. Jika Anda kalah bersaing? Perjalanan masih panjang, jadi tenang saja. Siapkan diri untuk fase persaingan berikutnya.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman