Sabtu, 18 Juni 2011

Menghadapi Mereka Yang Menolak Seruan Kepada Kebaikan

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Apakah Anda pernah mendengar seseorang berkata begini;”Gue kasih tahu dia, eh malah dia marah-marah!”? Ketika seseorang menasihatkan sesuatu, atau mengingatkan orang lain atas perilaku buruknya, atau sekedar berbagi ajaran dan ajakan terhadap kebaikan; belum tentu semua orang bersedia menerimanya. Bahkan boleh jadi mereka yang tidak senang itu malah balik menyerang. Para alim ulama, para pendeta, para biksu, dan orang-orang yang berkomitmen menjadi bagian dari mata rantai penyampai nilai-nilai mulia banyak yang mengalami perlakuan-perlakuan tidak pantas dari mereka yang tidak menyukai nilai-nilai positif yang disebarkannya. Jika Anda juga ingin menjadi penyeru kebaikan, apakah Anda sudah memiliki kesiapan mental seperti beliau?

Jika Anda mengira semua orang akan menyukai seruan tentang hal-hal positif dan nilai-nilai kebaikan, maka Anda keliru. Faktanya, ada saja orang-orang yang gigih melakukan penentangan. Padahal, peran Anda dalam menyebarkan nilai-nilai positif sangatlah besar sehingga perlu memiliki kesiapan mental untuk menghadapi kemungkinan serangan balik mereka. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya meningkatkan daya tahan mental ini, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 kemampuan Natural Intelligence berikut ini:

1. Menyadari bahwa bahkan para Nabi pun banyak yang ditentang. Jika mengingat betapa beratnya perjuangan para Nabi dan Rasul; sungguh, kita akan faham benar bahwa menyerukan kebaikan itu sebenarnya sangat beresiko. Bukan sekedar dibenci dan dimusuhi, bahkan banyak Nabi yang diburu dan dibunuh. Jika Anda sudah berkomitmen menjadi bagian dari mata rantai penebar nilai-nilai kebaikan, maka Anda tidak perlu berkecil hati ketika ada orang lain yang melecehkan Anda, mengucapkan kata-kata yang sinis tentang Anda, bahkan membongkar keburukan-keburukan Anda. Teruslah berpegang teguh pada komitmen Anda, karena boleh jadi Tuhan sedang menguji kesungguhan Anda dalam perjuangan itu. Ingatlah betapa beratnya tantangan dan tentangan yang dihadapi para Nabi; maka Anda akan tegar kembali.

2. Berfokus kepada menasihati diri sendiri, bukan orang lain. Setiap kalimat seruan kepada kebaikan yang Anda sampaikan akan mengundang cercaan orang-orang yang tidak menginginkannya. Bukan hanya mentertawakan Anda, mereka juga bahkan bisa balik memojokkan Anda dengan fakta bahwa Anda pun belum menjadi pribadi yang baik. Mereka ingin melemahkan mental Anda supaya segera berhenti dan menutup mulut saja. Namun jika pun Anda belum menjadi manusia sempurna, tidak perlu malu untuk mengajak sesama pada kebaikan, karena memang tidak ada manusia yang sempurna. Tetapi dengan komitmen itu, kita sendiripun sadar bahwa masih banyak hal yang patut kita perbaiki. Diri kita sendirilah yang membutuhkan nasihat pertama kali. Dengan nasihat yang Anda serukan, Anda mengajak diri sendiri untuk melakukannya. Insya Allah melalui seruan itu sebenarnya kita menyeru diri sendiri untuk terus berbenah. Syukur beribu syukur jika ada orang lain yang tersentuh oleh seruan itu, sehingga Anda akan memiliki teman untuk sama-sama menuju perbaikan.

3. Menyadari bahwa banyak jalan menuju ke Roma. Orang yang mencaci maki Anda karena ajakan kebaikan yang Anda sampaikan kepadanya bisa jadi memiliki pemikiran yang benar. Setidak-tidaknya benar bagi dirinya sendiri. Namun, itu juga tidak berarti Anda salah. Lho, jika mereka yang mencerca itu benar dan Anda benar; apa iya ada dua kebenaran yang saling bertentangan? Hey, ingatlah bahwa untuk pergi ke Roma ada banyak jalan yang bisa kita tempuh. Semua jalan itu benar. Dan tidak saling bertentangan. Manusia yang sempit ilmu seperti kitalah yang mempertentangkannya. Kesinisan kita, kepicikan cara berpikir kita, kedengkian didalam hati kita adalah cerminan dari ketidakpahaman diri kita pada ilmu dan esensi kebenaran yang kita miliki. Jika Anda seorang yang berilmu, maka Anda pasti akan menyampaikan nilai-nilai kebenaran Anda dengan santun, bukan dengan sikap sinis atau melecehkan dan saling menghina. Berdamailah dengan orang yang berbeda pendapat dengan Anda, karena tidak ada gunanya memperdebatkan jalan menuju ke Roma.

4. Menyadari bahwa kebenaran mutlak itu hanyalah milik Tuhan. Ilmu Tuhan itu meliputi segala sesuatu. Maknanya, Tuhan mengetahui semua nilai kebenaran yang ada. Sedangkan esensi kebenaran itu adalah saling menguatkan. Maka tidak mengherankan jika Tuhan memiliki kebenaran yang mutlak karena Dia bisa melihat secara utuh bentuk ‘gajah kebenaran’ itu. Jika kita atau orang lain memaksakan kebenaran sendiri, itu adalah pertanda bahwa kita atau mereka belum memiliki ilmu yang cukup luas untuk melihat kebenaran itu secara utuh. Jadi, jika ada yang memaki Anda karena nilai-nilai kebaikan yang Anda sebarkan, tidak perlu tersinggung. Bisa jadi memang mereka benar dengan pendapatnya. Sedangkan soal cara menyampaikannya yang kasar kepada Anda, itu bukan soal esensial melainkan hanya sekedar pertanda bahwa orang itupun sedang memerlukan proses pembelajaran menuju kearifan yang lebih tinggi.


5. Menyadari bahwa tugas kita hanyalah menyampaikan. Kebaikan dan kebenaran itu bersahabat erat dengan ketegasan. Dikala Anda berhadapan dengan penentangan keliru yang hanya berlandaskan emosi dan nafsu, maka Anda pun perlu tegas untuk tetap menyatakan bahwa mereka keliru. Namun bukan dengan cara balik menyerang mereka. Jika mereka memaki Anda, mengapa Anda harus balik memaki mereka? Jika mereka melontarkan kata-kata sinis kepada Anda, mengapa Anda harus membalas kesinisan mereka? Mari mengingat kembali perjuangan berat para Nabi. Sedemikian beratnya sehingga pribadi-pribadi suci itu menangis dimalam hari mengadukan para penentang itu kepada Tuhannya. Bukankah Tuhan menyambut pengaduan mereka dengan nasihat “Wahai Nabi,” titahNya. “Tugasmu itu hanyalah menyampaikan risalah.” Sungguh bahkan para Nabi pun tidak memiliki kewenangan untuk memberikan hidayah. Masuknya petunjuk kedalam sanubari seseorang adalah hak dan kewenangan Tuhan. Tugas para Nabi hanyalah menyampaikan saja. Sedangkan tugas kita adalah mencontoh para Nabi, dan menyampaikan nilai-nilai kebenaran itu kepada orang lain; meski hanya satu kalimat.

Tuhan sudah tidak lagi mengutus Nabi. Sedangkan dunia yang kita huni ini masih membutuhkan orang-orang yang berkomitmen untuk terus mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari perilaku-perilaku munkar. Mengajak bukan untuk orang lain, melainkan terlebih dahulu untuk diri sendiri. Itulah fitrah dan amanah yang Tuhan berikan kepada kita. Namun, janganlah berharap bahwa jalan yang kita tempuh itu akan mulus-mulus saja. Karena jalan yang terlalu mudah hanya sedikit menyediakan pahala. Semua pahala yang bernilai tinggi Tuhan letakkan dijalan terjal yang susah ditempuh dan tanjakan tajam yang sulit didaki. Maka saat Anda menghadapi tantangan dan penentangan, tidak usah berkecil hati. Karena tantangan yang kita hadapi itu, bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesulitan yang dahulu dijalani oleh para Nabi suci.

Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO

Dadang Kadarusman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar