Selasa, 16 Agustus 2011

Mengapa Kita Membutuhkan Atasan Yang Demanding?


Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Saya pernah memiliki atasan yang sangat demanding. Cirinya, tidak mudah dibuat puas oleh anak buah. Menuntut lebih banyak lagi. Lebih baik lagi. Lebih cepat lagi. Dan lebih sempurna lagi. Seperti kebanyakan orang lainnya, pada awalnya saya juga merasa kurang nyaman dengan gaya kepemimpinan beliau. Namun, lama-kelamaan saya menjadi sangat menikmati saat-saat mendapatkan kesempatan untuk bertugas bersamanya. Orang yang pada awalnya membuat kehidupan kerja saya sangat ‘berat’, perlahan-lahan menjelma menjadi seorang mentor yang hebat. Apakah beliau berubah? Saya kira tidak. Jika bukan beliau yang berubah, lalu siapa?
Tidak ada alasan bagi saya untuk membencinya. Sebagai bawahan, saya sadar bahwa yang harus menyesuaikan diri itu saya. Bukan beliau. Maka, saya pun bertekad untuk mengimbangi gayanya. Saya juga menyadari bahwa justru dibawah kepemimpinan orang yang menuntut ‘terlalu banyak’ seperti beliaulah seluruh potensi diri saya ‘dipaksa’ untuk dikerahkan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami mengapa kita membutuhkan atasan yang demanding; saya ajak untuk memulainya dengan mempraktekkan 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
1. Gunakan potensi diri yang masih menganggur. Sudah menjadi sifat manusia untuk hanya bekerja dalam zona nyaman. Namanya zona nyaman berarti dalam melakukannya kita merasa enak. Misalnya, jika orang lain dikantor kita ‘males-malesan’, maka enaknya sih kita ikut males juga. Digaji sama kok kinerjanya beda. Jika jam kerja berjalan ‘lambat’, maka kita juga ya santai-santai saja. Tidak ada salahnya sih jika kita memilih untuk melakukan itu. Toh, perusahaan juga tidak marah. Masalahnya, semua kenyamanan itu menjadikan potensi terbaik kita menganggur. Coba ingat kembali; bukankah kita memandang buruk kepada orang yang menganggur? Padahal, didalam diri kita sendiri banyak potensi yang dibiarkan menganggur. Hanya karena sudah memiliki pekerjaan tetap, tidak berarti bahwa kita bukan pengangguran. Justru kita lebih parah karena sudah dianugerahi kesempatan untuk memaksimalkan kapasitas diri, namun menyia-nyiakannya sambil bersembunyi di zona nyaman.
2. Pahami dan ikuti cara berpikir atasan demanding Anda. Tidak ada satupun pekerjaan saya yang langsung diterimanya dengan baik. Tidak peduli seberapa keras saya sudah berusaha untuk memastikan tidak ada cacat didalamnya. Saya selalu harus kembali ke ruang kerja beliau, lalu mendiskusikan kembali, revisi lagi, diskusi lagi. Dan lagi. Saya benar-benar ‘tidak mengerti’ maunya itu apa sih? Tiba-tiba saja tertawan oleh frase ‘tidak mengerti’ itu. Aha! Ternyata itu masalahnya. Saya ‘tidak mengerti’. Mulai saat itu, saya berusaha keras untuk ‘bisa mengerti’ beliau. Saya mulai dari cara berpikirnya. Kemudian saya menyimpulkan bahwa beliau selalu melihat anak buah sebagai orang yang bisa melakukan hal yang lebih baik dari yang biasa dilakukannya. Oleh karenanya, beliau memberikan ujian yang ‘luar biasa’ supaya semua kemampuan anak buahnya dikerahkan. Saya mengecek kesimpulan itu langsung kepadanya. Dan, bingo! Saya benar. Bahkan beliau mengatakan; “I will never accept the first proposal!” Aaaaah, sekarang saya sudah mendapatkan kunci jawabannya. Maka sejak saat itu, saya ikuti cara berpikirnya. Dan saya? Jauh lebih menikmati prosesnya dan lebih mampu menjalankan tugas ini.
3. Pahami dan penuhi kebutuhan atasan demanding Anda. Saya sudah tahu cara berpikirnya. Dan saya sudah mampu mengikutinya. Masih ada masalah lain. ‘Pekerjaan terbaik’ saya masih sering ‘dicoret-coret’ oleh pena beliau. Dan kalau sudah mencoret, beliau melakukannya dengan membubuhkan sebuah tanda silang besar sehingga satu halaman kertas tertutupi seluruhnya. Tidak selamanya begitu. Karena ada juga pekerjaan saya yang ditandai dengan sebuah label “This is exceptionally great!” Lalu saya mencoba membandingkan apa yang menyebabkan perbedaan respon itu sampai akhirnya saya menemukan bahwa dalam pekerjaan yang dipujinya itu, saya telah berhasil memenuhi kebutuhannya. Tantangannya sekarang adalah; bagaimana caranya untuk mengetahui lebih banyak lagi kebutuhannya sehingga saya bisa memenuhinya. Saya beruntung mendapatkan lebih banyak lagi kesempatan untuk bekerja lebih dekat. Itu membantu saya untuk lebih memahami apa sebenarnya yang dia butuhkan. Informasi, data, cara penyajiannya, kecepatannya, keakuratannya, keutuhan prosesnya. Semuanya. Sejak saat itu? Saya hampir tidak pernah mendapatkan ‘tanda silang’ yang berarti lagi.
4. Selalu tunjukkan sikap positif dihadapannya. Tidak ada jenis hubungan yang bebas dari friksi, bahkan sekalipun hubungan itu berlangsung dengan orang yang paling Anda cintai atau paling Anda hormati. Pasti ada saatnya dimana kita tidak menyukai atau tidak cocok dengan hubungan yang ada. Sekalipun begitu, saya menyarankan; jangan sekali-kali menampakkan emosi kesal atau marah dihadapan atasan Anda. Percayalah, pilihan bersikap seperti itu tidak bisa memberikan akhir yang baik. Tapi jika Anda tetap menunjukkan sikap positif, maka penilaian atasan Anda tidak akan pernah berkurang kepada Anda. Bahkan dia akan semakin respek kepada Anda. Dan dia juga akan tahu, bahwa; tidak seorang pun dapat memainkan emosi Anda. Selain itu, boleh jadi sebenarnya atasan Anda hanya ingin menguji mental Anda. Seperti yang dilakukan oleh atasan saya itu. Dalam sebuah presentasi dihadapan orang-orang penting, beliau mengatakan; ‘Let’s kill this project’. Setelah jerih payah bertahun-tahun, tentu hal ini bisa sangat menyakitkan. Namun, dengan sikap positif, akhirnya beliau memberi kesempatan kedua. Dan pada presentasi berikutnya beliau secara terbuka mengatakan; “I was wrong….” Itulah salah satu buah manis dari sikap positif yang perlu selalu kita tunjukkan.
5. Belajarlah untuk menjadi teman diskusi yang berbobot. Kita tahu bahwa kapasitas atasan kita bukanlah sebagai ‘doer’ alias pelaksana. Dalam kapasitasnya itu, mereka tidak sekedar membutuhkan kita untuk bisa melakukan sesuatu. Mereka juga membutuhkan kita untuk bisa menjadi teman diskusi yang berbobot. Percayalah, bahkan seorang atasan paling genius sekalipun membutuhkan seseorang untuk mendiskusikan ‘percikan-percikan ide’ yang melompat-lompat dikepalanya. Atau sekedar untuk meminta sudut pandang lain dari situasi sulit yang tengah dihadapi perusahaan. Ini adalah peluang bagi setiap bawahannya, untuk menujukkan bahwa mereka layak untuk menjadi teman diskusi yang berbobot bagi mereka. Dan sejauh yang saya tahu, teman diskusi yang berbobot itu tidak harus selalu memiliki ide yang hebat. Kita bisa melakukannya dengan cara mendengar, memahami, serta mempelajari proses bisnisnya dengan baik. Lalu melihat aspek apa yang bisa dibuat lebih baik. Atasan Anda, membutuhkan teman diskusi yang berbobot. Maka belajarlah untuk itu.
Mungkin Anda melihat apa yang sudah saya paparkan diatas merupakan proses ‘struggle’ dan babak belur saya ketika bekerja bersama atasan yang sangat demanding. Wajar jika orang lain melihatnya demikian. Tetapi, saya sendiri melihat itu sebagai sesi kuliah terbaik saya, yang ketika menjalani kuliah itu saya mendapatkan ‘beasiswa’ dengan jumlah yang memuaskan. Ketika beliau pindah tugas ke Negara lain, saya melihat bahwa kemampuan saya sudah meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan 3 tahun sebelumnya. Setulusnya bisa saya katakan sekarang bahwa; bersama atasan yang sangat demanding seperti itulah, potensi yang sering menganggur didalam diri saya terbangkitkan. I understand that this might be too late to thank him. But, I believe that he knew from the very beginning that I liked the way he coached me to reach this point. So, jangan pernah mengeluhkan lagi atasan Anda yang sangat demanding.
Mari Berbagi Semangat!

diteruskan oleh JOJO
Dadang Kadarusman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar